
Bias sinar Matahari pagi telah membangunkan kami dari tidur semalam suntuk diatas kereta malam, tiba di station Tugu Jogyakarta kami disambut oleh beberapa orang berseragam batik dengan penutup kepala batik pula, atau biasa disebut blangkon.
Layaknya anak-anak sekolah, rombongan kemudian digiring dan dipecah menjadi beberapa kelompok, kemudian masuk ke Bus masing-masing yg sudah menunggu sejak subuh, sejak saat itulah tak kulihat lagi sosok bule itu. Hal ini karena panitia (EO) telah membuat kegiatan amazing race untuk tiap kelompoknya berbeda waktudan rutenya.
Rute pertama kami menuju alun-alun selatan, berlanjut ke Malioboro, lalu ke pasar Bringharjo, kemudian lanjutkan dengan naik Bus menuju perkampungan Mbah Marijan di gunung Merapi, disana kulihat kekuasaan Tuhan yang sangat dahsyat. Perang perasaan antara perih dan takjub mulai menebar dalam dadaku, dua tahun lalu sekitar gunung merapi luluh lantak, tulang belulang hewan piaraan, rangka sepeda motor, radio dan TV yang sudah menyatu dengan lantai juga rumah-rumah yang hangus tinggal tembok yang sudah rapuh, hal itu masih terlihat dari sisa-sisa kehancuran yg sengaja diabadikan warga.
Kini keadaannya sudah berubah, diatas hamparan pasir yang menutupi kawasan merapi sudah tumbuh dengan subur semak belukar, diselingi dengan pohon-pohon besar yang menjulang tanpa cabang dan ranting karena dilumat wedus gembel. Namun semua itu menjadi satu pemandangan yang sangat indah dan menakjukan. Dengan sendirinya kondisi perpaduan semak belukar nan hijau, pohon besar yg menjulang itu bercerita mengenai kejadian yang menimpa daerah sekitar Kali Adem.
***
Perjalanan berlanjut ke musium batik “ULLEN SENTALU”, disana kembali aku dibuat takjub, sesuai petunjuk yg disampaikan pemandu, seluruh rangkaian foto, lukisan, patung dan batik yang terpajang didinding. Semuanya menceritakan satu kebudayaan yang sangat luhur dan sangat maju pada zamannya, bahkan ada satu yang takkan kulupa, dizaman kerajaan itu sudah terjalin kerjasama dengan beberapa negara eropa dan timur tengah. Alhasil kebudayaan di Jogyakarta jauh lebih dulu maju dibanding kota-kota lain di Indonesia.
Dari sekian banyak cerita kebudayaan ternyata Jogyakarta memang ikonnya Indonesia saat itu, pada zaman kerajaan yang terkenal dengan pola hidup dan tatakrama yang sangat rumit ternyata bukan merupakan sebuah kerangkeng pemikiran serta ide, juga bukan tembok batas pergaulan seperti yang kubayangkan selama ini.
Hal ini terbukti dengan telah adanya pemikirian untuk membuat satu acara pertukaran budaya dengan bangsa lain, Raja Jogyakarta telah mengutus para penari keraton pergi ke negeri Belanda, sementara alat musik dan para penabuh gamelan yang berat dan sakral tetap berada di Jogyakarta. Mereka telah dapat membuat liveshow/streaming dengan menggunakan teknologi yang canggih saat itu yaitu RADIO.
Semua itu telah membuktikan bahwasanya Jogyakarta telah menerapkan system kerajaan yang menganut era globalisasi jauh sebelum bangsa ini menerapkan hal tersebut.
1 Comment